Opini: Bustami PLaying Victim
40 hari menjelang Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2024, aktivitas politik kedua kandidat, Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi dan Muzakir Manaf-Fadhlullah semakin menarik perhatian. Sayang, yang menonjol dari aktivitas dua kandidat ini tidak menunjukkan banyak ide. Aktivitas di kubu Mualem-Dek Fadh, misalnya, lebih kepada penyampaian dukungan dan deklarasi forum pendukung. Sementara kubu Bustami-Fadhil tidak lebih banyak. Para pendukung kubu nomor urut 1 itu bahkan cenderung memainkan isu dianiaya; playing victim. Hal ini terlihat jelas dari langkah-langkah yang tim sukses Bustami ambil. Mulai dari tuduhan bahwa Komisi Independen Pemilihan bersekongkol dengan pasangan Mualem-Dek Fadh untuk menjegal Bustami maju sebagai calon pada pilkada kali ini hingga menjadi korban perusakan baliho. Baca Juga Bustami Itu Siapa Sebelumnya rumah Bustami juga digranat. Hal ini berpotensi mengarahkan publik bahwa penggeranatan itu dilakukan oleh kubu seberang. Dan memang, paling mudah menyudutkan lawan politik dengan isu-isu seperti ini. Baca Juga Abu-Abu Pilihan Bustami Tapi beruntung masyarakat tidak terpancing. Bustami dan rekan-rekannya seharusnya paham bahwa masyarakat saat ini semakin teredukasi dalam menyerap informasi. Di awal, dalam urusan penggranatan, misalnya, ada dugaan yang menyudukan kandidat lain. Baca Juga Kebetulan Bustami Hamzah Namun melihat hingga saat ini kepolisian belum juga mengungkap pelaku penggranatan, kita jadi bertanya-tanya, “apa betul motif penggranatan itu dendam politik atau sekadar upaya korban mencari simpati?” Dan kini, para pendukung Bustami berupaya untuk menjadi “target penganiayaan” karena baliho dan alat peraga kampanye mereka dirusak sejumlah orang. Seharusnya, jika memang merasa menjadi korban, tim Bustami melaporkan hal ini kepada Gakumdu Pilkada. Tidak melemparkan isu ini menggelinding menjadi bola panas. Gelagapan meningkatkan elektabilitas Sun Tzu lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan dari musuh. Langka ini menjadi strategi perang yang dikenalkan Sun Tzu pada 544—496 SM. Praktik ini lantas ditiru banyak orang dan lebih populer dengan sebutan playing victim. Dalam demokrasi yang kita kenal, konsep ini cukup efektif untuk menggaet target pemilih. Pelaku berupaya mengambil hati publik. Baik lewat kisah penzaliman hal lain yang mudah membuat orang merasa iba pada pelaku. Isu fitnah, diskriminasi, dan kemiskinan, adalah sisi yang menyentuh iba pemilih. Pemilih cenderung memilih karena perasaan senasib. Pemilih mencari kandidat yang merepresentasikan perasaan mereka dan kesamaan nasib. Playing victim adalah politik manipulatif yang menstimulasi dan mendorong aksi-aksi untuk meraih tujuan politik. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Seharusnya para kontestan pemilu menawarkan ide bukan air mata. Dalam pekan-pekan terakhir, nama Bustami malah lebih disoroti sebagai sosok antagonis karena diduga terlibat dalam perkara pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh pada 2020 yang merugikan negara miliaran rupiah. Saat itu, Bustami menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh. Badan inilah yang mencacah paket senilai Rp 45 miliar menjadi paket kecil untuk memudahkan pelaksanaan menggunaan metode penunjukkan langsung. Semua ini terungkap dalam persidangan yang menyeret tiga pegawai negeri di Dinas Pendidikan Aceh sebagai pesakitan. Tentu saja ketiga terdakwa itu tidak sedang menjalankan skenario playing victime untuk mendapatkan simpati hakim. Karena itulah penulis mengingatkan agar Bustami dan tim pemenangan fokus berdemokrasi dengan cara yang benar Pilkada seharusnya menjadi ajang pertarungan ide untuk menggaet para pemilih. Memainkan lakon playing victim jelas-jelas tidak produktif untuk mendorong suasana aman dan nyaman menjelang pemilihan. Lagi pula, playing victim itu tidak membohongi siapa-siapa selain diri sendiri. Masyarakat Aceh, alhamdulillah, cerdas dalam urusan seperti ini.*** *) Penulis adalah pegiat demokrasi Gayo.